Beranda | Artikel
Keutamaan Surat al-Fatihah
Rabu, 16 September 2020

Surat al-Fatihah juga dinamai dengan Ummul Qur’an atau Ummul Kitab (induknya al-Qur’an). Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ummul Qur’an itu adalah tujuh ayat yang sering diulang-ulang (as-Sab’u al-Matsani) dan al-Qur’an al-‘Azhim (bacaan yang agung).” (HR. Bukhari)

Imam ar-Raghib al-Ashfahani rahimahullah mengatakan, “Fatihatul Kitab (surat al-Fatihah) disebut dengan Ummul Kitab karena ia merupakan permulaan Kitab (al-Qur’an).” (lihat al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an [1/28]).

Imam al-Qurthubi rahimahullah menjelaskan mengapa al-Fatihah disebut dengan Ummul Qur’an, “Karena surat ini mengandung [intisari] segala ilmu al-Qur’an.” (dinukil dari Taudhih al-Ahkam min Bulugh al-Maram [1/663] cet. Dar al-Atsar karya Syaikh Abdullah al-Bassam)

Syaikh al-Utsaimin rahimahullah berkata, “al-Fatihah adalah Ummul Qur’an; dikarenakan seluruh maksud ajaran al-Qur’an terkandung di dalamnya. Ia telah mencakup tiga macam tauhid. Ia juga mencakup penetapan risalah, hari akhir, jalan para rasul dan jalan orang-orang yang menyelisihi mereka. Segala perkara yang terkait dengan pokok-pokok syari’at telah terkandung di dalam surat ini. Oleh karena itu ia disebut dengan Ummul Qur’an.” (lihat Syarh al-Mumti’ [2/82])

Surat Paling Agung di dalam al-Qur’an

Dari Abu Sa’id bin al-Mu’alla radhiyallahu’anhu, beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku, “Maukah aku ajarkan kepadamu surat yang paling agung di dalam al-Qur’an, sebelum kamu keluar masjid?”. Lalu beliau menggandeng tanganku, ketika kami hendak keluar aku berkata, “Wahai Rasulullah! Tadi anda berkata: Aku akan mengajarkan kepadamu surat yang paling agung dalam al-Qur’an?”. Beliau pun bersabda, “Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin (surat al-Fatihah), itulah tujuh ayat yang diulang-ulang (as-Sab’u al-Matsani) dan bacaan yang agung (al-Qur’an al-‘Azhim) yang diberikan kepadaku.” (HR. Bukhari)

Dari Ubay bin Ka’ab radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah Allah menurunkan di dalam Taurat, Injil, maupun al-Qur’an, sesuatu yang menyamai Ummul Kitab; yaitu as-Sab’u al-Matsani.” (HR. Ibnu Khuzaimah)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh Kami telah mengaruniakan kepadamu (Muhammad) as-Sab’u al-Matsani (tujuh ayat yang diulang-ulang) dan al-Qur’an al-‘Azhim (bacaan yang agung).” (al-Hijr: 87)

Para ulama semacam Ali bin Abi Thalib, Abu Hurairah, Ibnu ‘Abbas, Ibrahim an-Nakha’i, Ibnu Abi Mulaikah, Hasan al-Bashri, Mujahid, Qotadah, Ibnu Jarir ath-Thabari, Ibnu Hajar, dan lain-lain menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan as-Sab’u al-Matsani adalah surat al-Fatihah (lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim [4/382] cet. al-Maktabah at-Taufiqiyah, Fath al-Bari [8/184] cet. Dar al-Hadits, Syarh as-Sunnah [3/50] cet. al-Maktab al-Islami, dan lain-lain)

Membaca al-Fatihah Rukun Sholat

Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mengerjakan sholat dan tidak membaca Ummul Qur’an (surat al-Fatihah) di dalamnya maka sholat itu pincang.” Beliau mengatakannya tiga kali. Pincang maksudnya adalah tidak sempurna (HR. Muslim dalam Kitab ash-Sholah [395])  

Imam al-Baghawi rahimahullah berkata, “Mayoritas ulama dari kalangan Sahabat maupun sesudah mereka berpendapat bahwasanya tidak sah sholat tanpa membaca Fatihatul Kitab (surat al-Fatihah) apabila orang itu bisa membacanya. Diantara mereka adalah ‘Umar, ‘Ali, Jabir, ‘Imran bin Hushain, dan para Sahabat yang lain. Inilah yang dianut oleh Ibnul Mubarak, asy-Syafi’i, Ahmad, dan Ishaq.” (lihat Syarh as-Sunnah [3/46] cet. al-Maktab al-Islami)

Dari ‘Ubadah bin ash-Shamit radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak sah sholat orang yang tidak membaca Fatihatul Kitab (surat al-Fatihah).” (HR. Bukhari dalam Kitab al-Adzan [756] dan Muslim dalam Kitab ash-Sholah [394]). Dalam riwayat Muslim juga diriwayatkan dengan lafal, “Tidak sah sholat orang yang tidak membaca Ummul Qur’an.” 

al-Fatihah bisa untuk Meruqyah

Dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu’anhu, beliau menceritakan suatu ketika sekelompok Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berada dalam perjalanan. Kemudian mereka melewati sebuah kabilah arab. Mereka meminta disambut sebagai tamu, tetapi permintaan itu ditolak oleh kabilah tersebut. Namun, setelah itu mereka bertanya, “Apakah diantara kalian ada yang pandai meruqyah? Karena pemimpin kabilah terkena sengatan binatang berbisa atau tertimpa musibah.” Salah seorang lelaki diantara rombongan pun berkata, “Iya.” Dia pun mendatanginya dan meruqyahnya dengan Fatihatul Kitab hingga sembuh. Setelah itu diberikanlah sejumlah kambing sebagai upah atasnya, tetapi orang itu enggan menerimanya. Dia mengatakan, “Tidak, sampai aku ceritakan hal ini kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Lalu dia pun menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan melaporkan hal itu kepada beliau. Dia berkata, “Wahai Rasulullah! Demi Allah, aku tidak meruqyah kecuali dengan Fatihatul Kitab (surat al-Fatihah) saja.” Beliau pun tersenyum seraya bersabda, “Darimana kamu tahu bahwa ia bisa untuk ruqyah?”. Kemudian beliau memerintahkan, “Ambillah pemberian mereka, dan sisihkan juga jatahku bersama kalian.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dari ‘Auf bin Malik al-Asyja’i radhiyallahu’anhu, beliau berkata: Dahulu kami biasa melakukan ruqyah/jampi-jampi di masa jahiliyah. Maka kami pun mengadukan hal itu, “Wahai Rasulullah! Bagaimana menurut anda tentang hal itu?”. Beliau menjawab, “Tunjukkan kepadaku bagaimana bacaan ruqyah kalian. Tidak mengapa meruqyah selama tidak mengandung unsur kesyirikan.” (HR. Muslim). Hadits di atas menunjukkan bahwa ruqyah yang terlarang adalah ruqyah yang mengandung unsur kesyirikan atau yang tidak mengikuti tuntunan syari’at.

Dari Abdul Aziz, dia berkata: Aku dan Tsabit datang menemui Anas bin Malik radhiyallahu’anhu. Tsabit berkata, “Wahai Abu Hamzah, aku sedang sakit.” Anas berkata, “Maukah aku ruqyah engkau dengan bacaan ruqyah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?”. Dia menjawab, “Iya tentu saja.” Anas pun membaca, “Allahumma Rabban naasi, Mudzhibal baasi. Isyfi anta asy-Syaafii. Laa syaafiya illa anta. Syifaa’an laa yughaadiru saqoma.” (HR. Bukhari)

Para ulama membolehkan ruqyah apabila terpenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

  1. Bacaan ruqyah itu berasal dari ayat al-Qur’an atau bacaan yang dituntunkan di dalam as-Sunnah, atau dengan menggunakan nama-nama dan sifat-sifat Allah
  2. Diucapkan dengan bahasa Arab dan jelas maknanya
  3. Tidak boleh mengandung unsur hal-hal yang bertentangan dengan syari’at, misalnya berisi doa kepada selain Allah, meminta keselamatan kepada jin atau yang semacam itu
  4. Harus diyakini bahwa bacaan itu tidak bisa berpengaruh dengan sendirinya tetapi bergantung kepada takdir Allah ‘azza wa jalla (lihat penjelasan Syaikh Shalih alu Syaikh dalam at-Tam-hid li Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 108 cet. Dar at-Tauhid, penjelasan Syaikh Ibnu Utsaimin dalam al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid [1/117] cet. Maktabah al-‘Ilmu, dan keterangan Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari [4/525] [10/220] cet. Dar al-Hadits)

Demikian sedikit rangkuman catatan, semoga bermanfaat bagi kami dan pembaca. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/keutamaan-surat-al-fatihah/